Dakwah itu butuh strategi dan kaedah sehingga dakwah tersebut mudah diterima.
Pertemuan #06
Akidah
EMPAT KAEDAH DALAM BERDAKWAH
Sebagaimana disebutkan sebelumnya mengenai kewajiban untuk berilmu, beramal, berdakwah, dan bersabar, sekarang akan dibahas khusus tentang modal penting untuk berdakwah.
Ada empat kaedah penting dalam berdakwah yang disebutkan oleh para ulama:
- Dakwah harus ikhlas mencari ridha Allah.
- Dakwah dengan ilmu.
- Dakwah dengan hikmah dan sabar.
- Dakwah dengan mengetahui keadaan yang didakwahi.
Dakwah harus Ikhlas Mencari Ridha Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33)
Dakwah dengan Ilmu
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلُحُ
“Barangsiapa yang beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka ia akan membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan banyak kebaikan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:136)
Begitu pula Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amalan. Sedangkan amalan itu berada di belakang ilmu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:137)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang membekali dirinya dengan ilmu, maka itu akan membuat lebih cepat mengantarkan kepada tujuan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:137)
Dakwah dengan Hikmah
Hikmah adalah tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai.
Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Dua contoh hadits yang menunjukkan hikmah dalam berdakwah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika itu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan pandangan kepadaku. Aku berkata ketika itu, “Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau bersabda saat itu, ‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Ada seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardiknya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami.” (HR. Bukhari, no. 221 dan Muslim, no. 284)
Dakwah dengan Sabar
Syaikhul Islam mengatakan, “Setiap orang yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar pastilah mendapat rintangan. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bersabar, maka hanya akan membawa dampak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Majmu’ah Al-Fatawa,28:136)
Luqman pernah mengatakan kepada anaknya,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Suatu penjelasan dan dakwah pada suatu masalah bisa saja diakhirkan hingga waktu yang memungkinkan sebagaimana Allah subhanahu wa ta’alamengakhirkan turunnya ayat dan penjelasan hukum hingga waktu yang memungkinkan saat Rasul bisa menerima dan bisa menjelaskannya” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:59).
Dakwah dengan Mengetahui Keadaan yang Didakwahi
‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu berkata,
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ ، أَتُرِيْدُوْنَ أَنْ يُكَذََّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ
“Sampaikanlah kepada manusia menurut apa yang mereka ketahui. Apakah engkau menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhari, no. 127)
Dari Abu Wa’il yang berkata bahwa Abdullah memberi pelajaran kepada orang – orang setiap hari Kamis, kemudian seseorang berkata, “Wahai Abu Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), aku ingin engkau memberi pelajaran kepada kami setiap hari.” Dia menjawab, “Sungguh, aku tidak mau melakukan nya karena takut membuat kalian bosan. Aku ingin memperhatikan kalian saat memberi pelajaran sebagaimana Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memperhatikan kami karena khawatir kami jenuh dan bosan.” (HR. Bukhari, no. 70)
Agar Dakwah Diterima dan Berpengaruh
Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan pula bagaimana dakwah bisa diterima dan membawa pengaruh dengan memiliki sifat-sifat berikut ini:
- Bertakwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
- Ikhlas, mengharapkan wajah Allah dengan dakwah-Nya.
- Berilmu, hendaklah ia punya ilmu dengan apa yang ia dakwahkan dengan pemahaman dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Lemah lembut dan berusaha menahan marah.
- Memulai dari yang terpenting terlebih dahulu, masalah akidah tentu harus lebih didahulukan.
Semoga Allah anugerahkan kita ilmu, amal, dakwah, dan sabar, juga terus diberikan keistiqamahan.
Referensi:
- Hushul Al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsah Al-Ushul.Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
- Syarh Tsalatsah Al-Ushul wa Adillatuhaa wa Al-Qawa’id Al-Arba’. Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan. Penerbit At-Taseel Al-Ilmi.
—
Diselesaikan pada perjalanan Jakarta – Jogja (Batik Air), malam 9 Dzulqa’dah 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com